Pak Tikno is My Hero
Belum saja ibukota diterkam
subuh, suara tetangga sudah mulai riuh. Di tengah keriuhan itu, seorang pria
berpostur tinggi kurus terseyum pada sepetak cermin datar yang hinggap di
dinding rumahnya.
“Kau memang pria taman, Tikno,”
cibir akalnya sambil mencuil kerah batiknya yang belum ia lunasi pembayarannya.
Tiba-tiba, “Huah…” suara menguap kedua buah hatinya mengalihkan perhatiannya
pada sudut cermin di sebelah kiri tubuhnya.
Ia amati kedua anaknya yang masih tertidur lelap melalui sepetak cermin
itu lalu ia berpaling dan tersenyum pada mereka . Tak lama kemudian,
“Allahu Akbar, Allahu Akbar ……,”
“Alhamdulillah,” ujarnya sambil
mengelus dada, mendengar suara adzan yang menegurnya untuk bergegas menghadap
Yang Di atas. Dia pun langsung mebangunkan kedua buah hatinya.
“Nak, bangun, nak. Sudah subuh,”
“Huaaah…mmh…. iya, Pak,” jawab
kedua puterinya sambil mengucek kelopak mata mereka yang belum jua tercerai.
“Ayo, bangun. Ambil wudhu sana
dan shalat subuh. Kalau mau sarapan , tinggal ambil di meja. Bapak sudah masak
nasi goring spesial, tuh,”
“Mmm, nasi goreng…., terima
kasih ya, Pak,” seketika kelopak mata kedua buah hati Pak Tikno tercerai dan mereka pun memeluk Pak Tikno.
Kontan, setetes air mata Pak Tikno jatuh mengecup bumi dalam pelukan kedua buah
hatinya.
“Andai saja engkau masih ada di
sini. Kau pasti akan bahagia,” ujarnya dengan hati yang tersedu pilu. Seketika
ia teringat akan istrinya yang telah menghadap Yang Maha Kuasa tujuh tahun silam
saat menjalani proses persalinan kedua buah hatinya.
“Bapak kenapa menangis?” mereka
bertanya dengan serentak
“Ouh, bapak ga nangis. Bapak
hanya sedikit mengantuk. Huahhh…..,” Pak Tikno mengelak sambil berpura-pura
menguap.
“Sudah, bapak berangkat dulu,
ya,” lanjutnya sambil mengelus rambut kedua buah hatinya yang belum genap
berumur tujuh tahun.
“Iya, Bapak. Hati-hati, ya,”
dengan serentak kedua puteri Pak Tikno menyahutnya sanbil mencium tangan Pak
Tikno. Pak Tiko pun segera mengambil tas dan bergegas menuju musholla untuk
memenuhi panggilan Allah Yang Maha Esa. Sulit memang bagi Pak Tikno menghadapi
kerasnya kehidupan ibukota. Profesinya yang hanya sebagai guru honor di suatu
SMA Negeri dan statusnya sebagai single
parent, membuatnya harus banting
tulang menyambangi jalan hidupnya.
_____________________________________________________________ ***
Seusai menuanikan ibadah shalat
subuh, Pak Tikno memakai sepatu kerjanya yang berwarna hitam mengkilap. Ia
hanya tersenyum pada sepatu yang ia kenakan, sebab lagi-lagi ia belum melunasi
pembayaran sepatu tersebut. Tetapi ia tidak menghiraukannya, ia justru terpaku
pada perawakannya yang tampak terapantul pada sepatunya yang mengkilap itu.
“Kau memang pria tampan, Tikno,”
ujarnya kembali sesaat sebelum ia menarik ikatan tali sepatu yang terakhir
kali. Lalu, ia bergegas mengadu nasib di sekolah tempat ia mengajar dengan
menaiki metro mini. Dia antara rekan-rekan kerjanya yang juga berprofesi
sebagai guru, ia dikenal sebagai guru yang humoris. Bahkan, mereka berpendapat
Pak Tikno lebih cocok jadi pelawak ketimbang harus berjibaku menjadi seorang
guru.
Sesampainya di kantor, tampak
kumpulan guru-guru sedang membicarakan sesuatu yang memancing rasa penasaran
Pak Tikno.
“Waduh, ada apa ini Bapak/Ibu
pada ngerumpi?” tegur Pak Tikno dengan santainya sambil menaruh tas di atas
meja kerjanya.
“Mmm, ini Pak Tikno. Siswa kita mau
tawuran lagi,” ujar Bu Reni, salah seorang rekan kerja Pak Tikno.
“Apa? Mau tawuran lagi?” tanggap
Pak Tikno dengan raut wajah yang sinis
“Lebih baik kita semua lapor
polisi saja, Pak,” usul Pak Sugi, salah seorang guru fisika yang terhitung jauh
lebih tampan perawakannya dibanding Pak Tikno
“Tidak perlu, lebih baik kita
semua bersama guru dari sekolah yang lain berkumpul di tempat tawuran, “ usul
Pak Tikno sedikit meyakinkan rekan-rekan kerjanya. Tapi,
“Teet…teet…teet…,” suara bel
tanda dimulainya jam belajar-mengajar memotong pembicaraan mereka. . Akhirnya,
mereka sepakat untuk berkumpul di tempat tawuran.
Seusai jam belajar-mengajar
berakhir, semua guru-guru Sma Negeri 1,5
dana dari sekolah lainnya bergegas menuju tempat tawuran akan
berlansung. Mereka bersembunyi dan mengintai dari balik semak belukar yang
tertanam di belakang halte. Tak lama kemudian,
“Woy, sini lu semuanya maju,”
dua kubu siswa saling ejek dan mengacungkan senjata mereka masing-masing.
Parang, samurai, ikat pinggang bermata gir, dan bambu panjang, semuanya tampak
tergenggam erat di tangan siswa-siswa terpelajar yang justru menjadi kurang ajar.
Guru-guru yang sedang mengintai
dari balik semak belukar pun heran, mengapa siswa-siswa mereka dengan bangga
membawa senjata seperti itu dan mengumandangkan kata-kata bintang? Mereka pun
mengurunkan niatnya untuk melarai tawuran itu. Meskipun jumlah mereka terhitung
mencukupi, tetapi rasa merinding sangat kuat mengahntui. Mereka taut menjadi
sasaran amukan siswa yang sudah tak terkendali dan tak bisa diterima akal sehat
lagi. Padahal, pagi tadi mereka sudah menggeledah tas siswa-siswa, tetapi
hasilnya nol besar. Tak ada satu pun siswa yang membawa barang senjata tajam.
Bagaimana ini, Pak?” tanya Bu
Reni kepada Pak Tikno yang tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Baiklah,” Pak Tikno bangkit dan
merampas TOA yang berada dalam pelukan Pak Sugi.
“Pak, Bapak mau ngapain?” tanya
Pak Sugi dengan keringat yang terus mengucur tanda ketakutan yang terus
menhantui dirinya.
Pak Tikno tak bergeming ia terus
saja berjalan ke tengah-tengah keurumunan siswa yang terlihat seperti orang
kesurupan. Belum saja langkah kakinya menginjak hitungan ketujuh, batu besar
menhantam pelipis matanya. Seketika darah mengucur deras menyusuri wajahnya dan
membuatnya sedikit membungkukkan badan. Hanya sekejap saja, selanjutnya,
“Semuanya bubaaaar…..,” dengan
berbekal TOA, Pak Tikno berteriak lantang di tengah kerumunan siswa-siswa
bringas hingga membuat mereka terperangah dan menghentikan aksi mereka.
“Apakah kalian tidak sadar akan
apa yang telah orang tua kalian berikan kepada kalian? Apa kalian tidak sadar
siapa diri kalian ketika waktu kecil? Cita-cita apa yang kalian idamkan ketika
kecil? Apakah hanya seperti ini sesuatu yang kalian inginkan? Apa jalan hidup
seperti ini yang akan kalian tempuh kelak? Sadar,nak. Sadar..! Bapak dan ibu
kalian susah payah membesarkan kalian. Tak seharusnya dan tak sepantansnya
kalian membalas budi mereka dengan cara bodoh seperti ini,” Sontak suasana
anarkis menjadi hening seketika, saat Pak Tikno berbicara dengan suara
lantangnya. Semua siswa pun tertunduk dan merenungkan kata-kata Pak Tikno.
Ajaibnya, mereka semua melepaskan senjata dari tangan mereka. Dua kubu siswa
beringas itu saling menghampiri dan mereka saling meminta maaf, bahkan hingga
ada yang berpelukan. Sungguh menakjubkan, seorang guru bernama Pak Tikno
berhasil menghentikan aksi tawuran antar pelajar hanya dengan berbekal TOA.
“Alhamdulillah, Ya Allah,”
lafadz hamdalah langsung terucap dari lisannya. Guru-guru yang mengintai dari
semak belukar pun menghampiri Pak Tikno. Mereka memuji aksi heroik Pak Tikno
dan berteriak dengan serentak,
“Pak Tikno is my herooo,” tetapi di tengah kegembiraan
itu, seorang Pak Sugi mendekati Pak Tikno dan berkata
“Bapak harus ke rumah sakit
sekarang!” Pak Tikno pun heran dan bertanya,
“Memangnya kenapa, Pak?
“Pelipis Bapak berdarah,” kata
Pak Sugi sambil menunjuk pelips Pak Tikno. Pak Tikno yang kebingungan meraba
wajahnya dan melihat telapak tangannya. Dia pun melihat darah yang ada di
tangannya. Kontan, Pak Tikno yang phobia akan darah pun jatuh pingsan.
Akhirnya, ia dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Sejak kejadian
itu, tawuran antar pelajar yang melibatkan sekolah tempat Pak Tikno mengajar
tidak pernah ada lagi. Sekolah sangat berterima kasih pada aksi heroik Pak
Tikno. Pihak sekolah akhirnya mengajukan Pak Tikno untuk segera diangkat
menjadi PNS. Oleh, Dinas Pendidikan kecamatan, usulan tersebut akhirnya
diterima dan Pak Tikno resmi menjadi PNS tanpa melalui serangkaian test. Kini,
Pak Tikno hidup lebih sejahtera dan ia mampu membesarkan kedua anaknya hingga ‘kenyang’
menempuh pendidikan di bangku kuliah.